Assalamu'alaikum ... ^_^ Hidup itu penuh warna, seperti pelangi. Anything can happen. Just enjoy it, Ok ^_^.
Rabu, 07 Maret 2012
KONSEP GENDER MENURUT AGAMA
PENGERTIAN GENDER
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu
yang tepat bagi perempuan.
PERSAMAAN GENDER MENURUT ISLAM
Gender, merupakan istilah yang baru dalam islam, karena sesungguhnya gender sendiri merupakan suatu istilah yang muncul di barat pada sekitar ± tahun 1980. digunakan pertama kali pada sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita saat itu. Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama. Contoh konkretnya adalah islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan beramal sholih.
Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿النساء:١٩﴾Pergaulilah mereka (istrimu) dengan baik (An-Nisa’:19)
Potongan ayat 19 surah An-Nisa’ di atas merupakan kaidah robbani yang baku yang ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, jika ada hadis, meskipun itu statusnya hadis shahih, lebih-lebih lagi itu hadis qawliyah yang substansinya bertentangan dengan kaidah baku tersebut (ta’arud), maka hadis itu perlu di analisa dan dikritik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kritik hadis yang berlaku. Analisa seperti ini perlu di lakukan mengingat tidak ada satupun riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah saw. Secara prakteknya pernah menghardik, memukul apalagi mengeksploitasi kaum wanita.
Gender merupakan konstruksi sosial, masyarakat sendiri yang membentuk konsep gender tersebut. Gender adalah arti yang di berikan menurut klasifikasi jenis kelamin (biologis) juga merupakan tuntutan dalam masyarakat bagaimana seseorang harus bersikap menurut jenis kelaminnya. Kata kata الجنس yang di artikan sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan di kalangan cendekiawan ataupun ulama’ islam sendiri karena bukan berasal dari akar kata bahasa arab. Dalam islam kita mengenal kata الجنس yang sering di artikan sebagai gender. Kata tersebut sesungguhnya berasal dari bahasa yunani.
Apabila di telaah lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, walaupun akhirnya seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, anggapan seperti ini mulai pudar namun tidak jarang kebanyakan kaum adam, khususnya dalam pergaulan rumah tangga menganggap secara mutlak bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut). Padahal dalam Alqur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun dalam politik.
KONSEP GENDER DALAM AL-QUR`AN
Ayat Alqur’an surah An-Nisaa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan kepada laki-laki. Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi fungsionalnya karena kodrat masing-masing.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً ﴿النساء:٣٤﴾
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Benar.”(an-Nisa’/4:34)
Dari ayat tersebut, sesungguhnya dapat kita ketahui bahwa keistimewaan laki-laki dari pada wanita salah satunya adalah karena tanggung jawabnya dalam memberi nafkah pada keluarganya. Maka ketika seorang laki-laki tidak menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka boleh jadi kedudukannya tidak jauh berbeda.
AL-QUR`AN MENGATUR TENTANG KESETARAAN GENDER?
Dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi “Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat”.
Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai kesetaraan.
DALIL-DALIL AL-QUR`AN YANG MENGATUR TENTANG KESETARAAN GENDER
a. Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
b. Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaan
GENDER MENURUT ISLAM DALAM PERSPEKTIF KLASIK DAN MODERN
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.
Kesadaran para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.
Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat olehkalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.
Paradigma Islam dan Feminisme
Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.
Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Kelemahan lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.
Metodologi Islam
Jika feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).
Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Dari kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar